Jika patah hati


Bagaimana Bila Engkau Patah Hati ?

Pada ulang tahunku tahun ini, aku patah hati.

Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Ibuku bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?

Ketiadaan itu meluaskan, kata Ibu, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi itu tak mungkin.’

‘Kenapa, Bu?’

‘Karena mengalami kehilangan adalah bagian dari kembali kepada menemukan. Tapi jangan pernah kaulupa, kau tak akan pernah kekurangan cinta.’

‘Karena cinta itu besar?’

‘Karena aku tak akan berhenti mencintaimu.’

‘Seberapa besar kau mencintaiku, Bu?’

‘Sebesar kuku jari.’

Aku yang sedang menggigiti kuku jari tengahku terdiam. ‘Kuku jari?’

Ibu menatapku dengan tersenyum. Senyum yang selalu aku rindukan, terutama ketika aku ulang tahun dan patah hati. Dan malam ini, aku mengalami keduanya. ‘Iya. Kuku jarimu selalu tumbuh meski kaupotong. Sebesar itulah cinta. Tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup.’

Lima belas tahun kemudian, ketika Ibu sudah tak lagi bersamaku, aku baru paham filosofi kuku jari dan mengapa cukup adalah bilangan tak terhingga dari cinta.

    Cinta selalu cukup untuk siapa saja.

Semakin aku bertambah usia, semakin aku pun paham. Tak pernah ada cara yang tepat untuk mencintai. Yang disebut tepat adalah ketika aku dan kamu saling mencintai dengan cukup.

Ibu pasti bangga di sana. Putri kecilnya kini sudah dewasa dan berani mencintai sebesar kuku jari itu. Tak peduli berapa banyak ia mengalami patah hati.

Lilin ulang tahunku pun padam. Ini sudah malam, waktunya mataku memejam.


*) epilog dari ‘Bukan Cerita Cinta’, sebuah novella karya Windy Ariestanty di dalam ‘Kāla Kālī’, terbitan GagasMedia. ’Kāla Kālī’ juga menghadirkan novella karya Valiant Budi Yogi.

Related Posts:

0 Response to "Jika patah hati"

Posting Komentar

Cari Blog Ini